Minggu, 20 Maret 2011

Aktivis dan Kuliah? Why Not!
Oleh. Maksum Muktie*

Tidak dipungkiri lagi bahwa Seorang mahasiswa akan memperoleh nilai lebih, jika ia tidak hanya sibuk dengan nilai akademis tetapi juga aktif berorganisasi. Mengapa demikian? Karena dengan berorganisasi, seseorang akan belajar bekerjasama dengan orang lain (work as a team), belajar memiliki jiwa kepemimpinan (work as a leader), dan belajar bekerja dengan manajemen (work with management).

Pentingnya berorganisasi juga akan menjadikan seorang mahasiswa belajar disiplin terutama dalam memanajenen waktu, bagaimana berkomunikasi dan bersosialisasi dengan orang lain yang berbeda dengan kita baik berbeda dalam pola pikir, sifat serta prinsip yang dianut. Selain itu, kita akan bisa menghargai orang lain, memupuk rasa tanggung jawab, meningkatkan rasa solidaritas terhadap teman dan yang paling penting adalah belajar mengetahui karakter orang lain sehingga kita tahu bagaimana cara menghadapi berbagai karakter orang lain.

Di masa depan, skill tersebut sangat dibutuhkan ketika memasuki dunia yang sebenarnya. Hal ini karena ilmu pengetahuan yang didapat dari dalam kelas kuliah hanya sebatas ranah kognitif saja (pikiran). Apabila dilengkapi dengan organisasi maka akan berkembang ranah afektif (sikap) dan psikomotorik (perilaku). Sehingga lengkap sudah kemajuan tiga ranah dari individu yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik.

Fenomena mahalnya biaya pendidikan serta pola instan mahasiswa saat ini memang menuntut untuk menyelesaikan studi tepat waktu. Sehingga segala energi dikerahkan untuk mengondol gelar sarjana/diploma sesegera mungkin. Tak ayal lagi tren study oriented mewabah di kalangan mahasiswa. Ditambah lagi dengan tuntutan dari perguruan tinggi yang kebanyakan hanya menilai mahasiswa dari abjad sehingga segala sesuatu dilihat dari catatan kertas. Ditambah lagi kebanyakan orang lebih percaya dengan pembuktian apakah seseorang mampu atau tidak biasanya dilihat dari statistik nilai yang diperolehnya

Tapi apakah cukup dengan hanya mengandalkan ilmu dari perkuliahan dan indeks prestasi yang tinggi untuk mengarungi kehidupan pasca wisuda? Ternyata tidak. Ingat bahwa ilmu dari perkuliahan hanya menyumbang 25% pengetahuan yang harus kita pelajari, selebihnya kita harus berusaha sendiri mencarinya diluar kelas. Dunia kerja yang akan digeluti oleh alumnus perguruan tinggi tidak bisa diarungi dengan dua modal itu saja. Ada elemen yang lebih penting, yakni kemampuan soft skill.

Hal ini bisa dikaitkan dengan sebuah pertanyaan lama yang mungkin kedengarannya sudah basi di kalangan mahasiswa yaitu “Kenapa kita harus berorganisasi?”. Jawaban yang keluar mungkin berbeda-beda sesuai dengan redaksi jawaban dari yang ditanya, namun intinya yang harus kita ketahui adalah bahwa organisasi adalah tempat pengembangan diri mahasiswa yang secara psikologi telah memasuki taraf kedewasaan. Dalam fase ini, seorang mahasiswa membutuhkan semacam “simulasi kehidupan” untuk menghadapi kehidupan nyata di luar, tempat dimana mahasiswa dapat mengimplementasikan apa yang mereka dapatkan di bangku pendidikan kedalam objek nyata di kehidupan mereka, dan lain-lain sebagainya.

Permasalahan yang muncul dan menjadi alasan umum dari banyak mahasiswa untuk malas berorganisasi adalah sulitnya seorang mahasiswa aktivis organisasi dalam membagi waktu antara kuliah dan organisasi. Hal ini memang menjadi masalah ketika kita harus memilih salah satu dari keduanya. Akan tetapi jika sedikit mengubah pola berpikir kita maka bukan menjadi masalah lagi ketika kita mengambil semuanya. Ingat bahwa dalam bergoranisasi kita harus bisa memanajemen waktu yang kita punya. Semua orang punya waktu yang sama 24 jam dalam satu hari, entah dia seorang peneliti, dosen, mahasiswa, atau cleaning service. Yang perlu dilakukan adalah bagaimana kita membagi prioritas kegiatan yang mesti kita lakukan. Banyak mahasiswa aktivis organisasi yang lebih memilih organisasi daripada kuliah karena jadwal yang bersamaan sehingga kuliah mereka tidak terurus. Namun akan berbeda ceritanya ketika kita bisa mengatur jadwal tersebut. Memang kita tidak bisa menghadiri dua kegiatan yang bersamaan dalam satu waktu, tapi kita harus menentukan prioritas mana yang lebih mendesak untuk dilakukan. Serta merencanakan rencana kegiatan berikutnya untuk menggantikan kegiatan yang tidak kita hadiri.

Hal penting lainnya adalah tetap berkomunikasi dan jangan menunda pekerjaan. Ketika kita memilih prioritas kegiatan yang harus dikerjakan maka tentu kita juga harus punya rencana terhadap kegiatan yang tidak kita hadiri. Tetap menjaga komunikasi agar kita bisa memperoleh informasi dari kegiatan-kegiatan yang memang harus kita lakukan walaupun kita tidak bisa mengerjakan semuanya secara bersamaan. Menunda pekerjaan adalah kebiasaan buruk dan tidak bertanggungjawab yang menyebabkan kita kerap terjebak pada kegiatan-kegiatan yang awalnya tidak mendesak tapi tiba-tiba semua pekerjaan sampai pada deadline-nya. Padahal jika kita terbiasa mencicil pekerjaan-pekerjaan yang diamanahkan atau dibebankan pada kita, tidak akan berakhir sedemikian naasnya.

Biasakanlah setiap hari untuk merencanakan kegiatan yang akan kita lakukan, namun tidak harus kaku untuk tidak mengerjakan hal-hal yang tidak kita rencanakan. Ukurlah sejauh mana prioritas sebuah pekerjaan yang harus kita kerjakan. Meski terasa berat di awal, namun kamu bakal memetik hasil yang menyenangkan di bagian akhir dalam hidup kita.
So, what is mean. It’s mean you can do your study while you an activist.

*Mahasiswa Jurusan Keuangan Islam
Sedang mengembankan karirnya di Ashram Bangsa