Sabtu, 29 Januari 2011

Akselerasi Student Goverment Menuju Good Governance

Mahasiswa adalah kalangan yang memiliki potensi besar melakukan mobilitas. Bahkan, hal itu sudah dilakukan semenjak mereka resmi memiliki status sebagai mahasiswa, karena status itu termasuk kelas menengah. Ke depan, selepas menyelesaikan proses pembelajaran dan pencarian jati diri mereka di kampus, pintu melakukan mobilitas itu semakin terbuka. Mobilitas secara vertikal maupun horizontal, menuju ke posisi strategis di berbagai sektor yang akan mereka geluti, baik public sector, private sector atau third sector.

Kampus sebagai ruang mahasiswa dalam bentuk kegiatan akademik juga sering kali menuai berbagai macam interpretasi yang berbeda-beda dalam bentuk aplikasi internal maupun eksternal dikalangan mahasiswa itu sendiri. Ruang yang seharusnya dapat dijadikan wadah dalam pengembangan potensi dan tentunya dalam kancah pengembangan intelektual ternyata luput dari harapan banyak kalangan. Berbagai metodologi dan sistem akademik telah dilakukan untuk membenahi permasalahan di atas.

Format gerakan mahasiswa ke depan adalah gerakan massa dan gerakan intelektual (Intellectual Movement). Sebuah gerakan massa hanya akan menjadi retorika ketika mahasiwa tidak mengolah budaya ilmiah dalam mengapresiasikan pemikiran dan idiealismenya. Budaya ilmiah akan dapat dilakukan dengan gerakan intelektual (Intellectual Movement). Pada saat ini para aktivis pergerakan mahasiswa semakin sadar perlu mengedepankan nuansa intelektual ketika bergerak dalam menuntaskan perubahan.

Kedua adalah membudayakan Tradisi Menulis (writing Tradition). Aktifitas menulis merupakan salah satu gerbang menuju tradisi intelektual bagi gerakan mahasiswa. Kita dapat belajar dari tokoh dan intelektual bangsa Indonesia, yang bernotabene mantan tokoh aktivis pemuda dan mahasiswa, banyak melemparkan gagasan atau ide-ide cemerlang, kriktikan tajam dan membangun wacana dalam bentuk tulisan. Seperti Bung Karno, Bung Hatta, M. Natsir- era pra kemerdekaan; Amien Rais, Abdurrahman Wahid, Nurcholis Majid, Arif Budiman era 60 sampai 80-an; Andi Rahmat, Eef Saiful fatah, Kamaruddin (era 90-an) dan masih banyak lagi. Sehingga tidak berlebihan kemudian keberadaan kampus dianalogikan sebagai miniatur dari sebuah Negara, dimana seluruh bentuk aktivitas dan sistem yang berjalan didalam kampus merefleksikan aktivitas layaknya sebuah Negara.

Sebagai wadah dalam menyalurkan gerakan mahasiswa seperti yang disebutkan diatas maka Lembaga Kemahasiswaan yang berada dibawah naungan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta harus dibentuk. Hal ini sangat diperlukan dalam melegalkan bentuk gerakan mahasiswa sehinga tidak terkesan asal-asalan. Pembentukan Lembaga kemahasiswaan ini harus melalui proses demokratisasi lewat PEMILWA (Pemilihan Umum Mahasiswa) dimana kesemua jajaran birokrasi lembaga kemahasiswaan tersebut dipilih secara langsung oleh seluruh mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum.

Dalam konteks Fakultas Syariah dan Hukum Lembaga Kemahasiswaan memilki fungsi yang strategis untuk melakukan terobosan baru dalam memajukan Fakultas Syariah dan Hukum. Disamping juga mempunyai akses yang sangat mudah dengan pihak birokrasi Fakultas di satu sisi dan merupakan manifestasi aspirasi mahasiswa di sisi lain. Artinya lembaga kemahasiswaan tersebut dituntut penuh untuk selalu mengawasi dan mengoreksi segala bentuk kebijakan birokrasi yang sama sekali tidak memihak pada kepentingan banyak mahasiswa dan selanjutkatnya memberikan solusi atas ketimpangan kebijakan yang ada. Pikiran-pikiran jernih dan orisinil yang berorientasi bagi pengembangan dan kemajuan Fakultas Syariah dan Hukum harus disuarakan secara lantang tanpa adanya intervensi dan koptasi dari pihak manapun. Dengan demikian keberadaan lembaga kemahasiswaan yang nota bene sebaga wadah menyambung suara aspirasi mahasiswa benar-benar hidup dan menghidupi semua kepentingan yang ada dikalangan mahasiswa pada umumnya.

Melalui kebijakan-kebijakan tersebut, diharapkan lembaga kemahasiswaan Fakultas Syariah dan Hukum akan semakin mendapatkan angin segar bagi perubahan masa depan Fakultas. Tentunya dengan selalu membangun sinergitas komunikasi lintas elemen yang ada di lingkungan Fakultas itu sendiri, namun pada saat yang bersamaan tanpa harus melupakan perbaikan-perbaikan dalam membangun fondasi bangunan wilayah internal dan ekternal pengurus sekaligus. Maka harapan untuk mewujudkan lembaga kemahasiswaan yang Good Governance benar-benar nyata kehadirannya dan membumi. Amin!

Rabu, 19 Januari 2011

Sinergisitas Pajak dan Zakat
Oleh. Maksum Muktie*

Secara kasar, zakat jika dilihat sebagai insentif pajak tentu akan berdampak pada pertentangan konseptual, yang mungkin tak akan pernah selesai. Terdapat beberapa tokoh mempunyai pendapat berbeda mengenai masalah pajak dan zakat. Menurut Masdar Farid Masudi pajak itu sendiri merupakan zakat. Artinya jika seseorang sudah membayar pajak, berarti ia sudah membayar zakat karena zakat adalah landasan teorinya sedangkan pajak merupakan praktik dari zakat tersebut. Gusfahmi (2007) memetakan beberapa ulama yang mempunyai pendapat berbeda mengenai masalah pajak dan zakat ini. Pertama adalah Dr.Yusuf Qardawi dengan pendapatnya bahwa “zakat adalah kewajiban agama dan pajak adalah kewajiban terhadap negara”. Kedua, Dr. Hasan Turobi, Sudan dengan pendapatnya bahwa pajak tidak wajib bahkan haram. Pendapat ketiga adalah pendapat yang menyamakan pajak dengan zakat yaitu Masdar F. Masudi yang mengatakan bahwa zakat adalah roh dan pajak adalah badannya.

Akan tetapi objektif pajak sendiri pada saat ini, terlihat berbeda dengan orientasi zakat. Zakat dengan sangat jelas ditujukan bagi orang-orang yang dikategorikan lemah (dhuafa’). Baik lemah dalam hal ekonomi (fakir, miskin), sosial (muallaf, ibn sabil), maupun politik (gharim, riqab, fii sabilillah). Pemanfaatan zakat diluar kategori tersebut jelas-jelas tertolak.
Sedangkan pajak itu sendiri, 78% hasilnya digunakan untuk kepentingan Negara yang jauh dari pemberantasan kemiskinan. Pajak yang merupakan penyumbang terbanyak untuk APBN sehingga pemerintah sangat menjaga sumber pendapatan ini. Oleh karena itu, segala hal yang berkaitan dengan penerimaan pajak sangat sulit untuk dirubah. Seperti wacana tentang zakat yang mengurangi pembayaran pajak yang secara otomatis jika diterapkan akan mengurangi pemasukan pemerintah dari sector pajak. Wacana ini berkembang karena kekecewaan masyarakat kepada pemerintah yang belum bisa memberantas kemiskinan dan tidak upaya nyata pemerintah yang langsung berhubunga dengan rakyat miskin.

Malaysia merupakan contoh menarik dari kebijakan sinergis antara zakat dan pajak. Pengelolaan zakat sejak awal memang sudah dilaksanakan oleh aparatur negara. Namun, baru pada tahun 2004, pengelolaan zakat resmi berada dalam Departemen Zakat, Wakaf, dan Haji (JAWHAR). Departemen ini secara langsung bertanggung jawab kepada perdana menteri.

Dalam sistemnya, Setiap negara bagian memiliki Pusat Pungutan Zakat (PPZ). Lembaga ini melakukan penyuluhan intensif kepada masyarakat tentang kewajiban zakat. PPZ merupakan unit teknis pengelola zakat yang berperan dalam menghimpun dan mendayagunakan zakat pada setiap negara bagian. Di samping pelaksanaan penyuluhan zakat, keberadaan zakat sebagai insentif pajak berhasil mendorong pertumbuhan angka penghimpunan zakat. Model ini mengintegrasikan zakat dengan sistem perpajakan nasional. Sistem ini memungkinkan adanya pertukaran informasi antar institusi pengelola pajak dengan pengelola zakat.

Pola sinergi zakat dan pajak tersebut memudahkan pemerintah mendeteksi siapa yang tidak membayar zakat dan siapa yang tidak membayar pajak. Karenanya, dengan kebijakan tersebut, secara tidak langsung, penghimpunan pajak juga mengalami peningkatan, dengan tax ratio diperkirakan mencapai 20,2 persen.

Irfan Syauqi Beik mengatakan, ketika zakat menjadi pengurang pajak maka akan ada insentif dalam meningkatkan zakat sehingga ada proporsi yang pasti dalam pembagian zakat, yaitu kepada kaum dhuafa. Ia mengatakan, zakat memiliki peran dalam perekonomian, di antaranya sebagai alat redistribusi pendapatan dan kekayaan serta sebagai instrumen pengentasan dan pemberdayaan dhuafa.

Keseriusan Pemerintah
Jika diperhatikan dengan lebih seksama, penerapan zakat sebagai insentif pajak di Malaysia berhasil meningkatkan pendapatan dan penerimaan Negara dari pajak. hal ini tentu menjadi pembelajaran kepada pemerintah Indonesia untuk mengembangkan keefektifan dalam pengelolaan zakat dan pajak.

Setidaknya ada beberapa hal yang dapat menjadi keuntungan pemerintah jika berhasil mengembangkan model sinergisitas antara pajak dan zakat yaitu, pertama, dengan pemungutan pajak dan zakat yang bersamaan akan membuat masyarakat sadar pentingnya pajak dan zakat kepada pemerintah. akantetapi hal ini perlu penyulahan terlebih dahulu bahwa pajak akan digunakan untuk kepentingan Negara dan Zakat akan sepenuhnya untuk pemberantasan kemiskinan. Kedua, pemerintah tidak perlu lagi menganggarkan program pemberantasan kemiskinan dengan memotong pajak, akan tetapi dengan masuknya zakat sebagai penerimaan pemerintah dengan sendirinya hal itu akan mengganti program tersebut. Ketiga, kepercayaan masyarakat akan pentingnya zakat akan semakin besar sehinga nantinya juga meningkatkan pembayaran pajak.

Model seperti inilah yang ke depannya perlu dikembangkan di Indonesia. Ada sinergi positif antar institusi, bukan ego sektoral yang menyekat. Dalam hal ini, kerja sama antara institiusi pajak dan pengelola zakat dalam menciptakan sistem pengelolaan zakat yang lebih baik akan tercapai sehingga pengentasan kemiskinan di Indonesia dapat berjalan.

*Mahasiswa Keuangan Islam
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta