Senin, 25 Juli 2011

Dari Madura-Gunung Arjuna-Pasuruan-Ngawi-Jogja....

alhamdulillah semua permasalahan yang sempat membebaniku dapat menemui titik terang dengan petunjuk-Nya,

sebagai seorang yang baru belajar menjadi seorang saudara, seorang kakak, seorang teman, dan seorang sahabat, aku banyak belajar dari berbagai kejadian yang terjadi selama ini,

menjaga tidak harus selalu di sisi,

mengawasi tidak harus selalu di melihat,

menegur tidak harus selalu memarahi,

mencintai tidah harus selalu mengikuti,

mengajari tidak harus selalu bersama,

menasehati tidak harus selalu merasa benar,

namun,,,,

hal yang lebih penting adalah kepercayaan kepada saudara kita, adik kita, teman kita dan sahabat kita bahwa kita mencintai tanpa batas,,,,



hal yang sering aku takutkan adalah merusak dunia seorang yang kita cintai,

tanpa aku dunianya telah sempurna,

tanpa aku kabahagiannya telah ada,

tanpa aku kesehariannya telah diisi dengan kesenangannya,

tapi

haruskah berakhir seperti ini???

tapi yang jelas janjiku akan selalu ku ingat...





"ketika dua kutub yang sama bertemu maka jadilah sebuah perlawanan yang menghasilkan kilatan cahaya"

akan tetapi nasibnya kini benar-benar kritis,

rasanya kebersamaan selama 9 triwulan tidak ada artinya,

mungkin benar, bahwa anggapan itu ada,

mereka lebih suka dengan dunia mereka tanpa memperhatikan dunia lainnya,

kita punya dunia sendiri, jadi jika memang tidak bisa disatukan untuk apa dipertahankan????

aku tahu sebentar lagi kebersamaan ini akan segera berakhir,

tapi apakah hal itu memang harus dibiarkan seperti ini???

pesan dari dunia seberang!

Minggu, 20 Maret 2011

Aktivis dan Kuliah? Why Not!
Oleh. Maksum Muktie*

Tidak dipungkiri lagi bahwa Seorang mahasiswa akan memperoleh nilai lebih, jika ia tidak hanya sibuk dengan nilai akademis tetapi juga aktif berorganisasi. Mengapa demikian? Karena dengan berorganisasi, seseorang akan belajar bekerjasama dengan orang lain (work as a team), belajar memiliki jiwa kepemimpinan (work as a leader), dan belajar bekerja dengan manajemen (work with management).

Pentingnya berorganisasi juga akan menjadikan seorang mahasiswa belajar disiplin terutama dalam memanajenen waktu, bagaimana berkomunikasi dan bersosialisasi dengan orang lain yang berbeda dengan kita baik berbeda dalam pola pikir, sifat serta prinsip yang dianut. Selain itu, kita akan bisa menghargai orang lain, memupuk rasa tanggung jawab, meningkatkan rasa solidaritas terhadap teman dan yang paling penting adalah belajar mengetahui karakter orang lain sehingga kita tahu bagaimana cara menghadapi berbagai karakter orang lain.

Di masa depan, skill tersebut sangat dibutuhkan ketika memasuki dunia yang sebenarnya. Hal ini karena ilmu pengetahuan yang didapat dari dalam kelas kuliah hanya sebatas ranah kognitif saja (pikiran). Apabila dilengkapi dengan organisasi maka akan berkembang ranah afektif (sikap) dan psikomotorik (perilaku). Sehingga lengkap sudah kemajuan tiga ranah dari individu yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik.

Fenomena mahalnya biaya pendidikan serta pola instan mahasiswa saat ini memang menuntut untuk menyelesaikan studi tepat waktu. Sehingga segala energi dikerahkan untuk mengondol gelar sarjana/diploma sesegera mungkin. Tak ayal lagi tren study oriented mewabah di kalangan mahasiswa. Ditambah lagi dengan tuntutan dari perguruan tinggi yang kebanyakan hanya menilai mahasiswa dari abjad sehingga segala sesuatu dilihat dari catatan kertas. Ditambah lagi kebanyakan orang lebih percaya dengan pembuktian apakah seseorang mampu atau tidak biasanya dilihat dari statistik nilai yang diperolehnya

Tapi apakah cukup dengan hanya mengandalkan ilmu dari perkuliahan dan indeks prestasi yang tinggi untuk mengarungi kehidupan pasca wisuda? Ternyata tidak. Ingat bahwa ilmu dari perkuliahan hanya menyumbang 25% pengetahuan yang harus kita pelajari, selebihnya kita harus berusaha sendiri mencarinya diluar kelas. Dunia kerja yang akan digeluti oleh alumnus perguruan tinggi tidak bisa diarungi dengan dua modal itu saja. Ada elemen yang lebih penting, yakni kemampuan soft skill.

Hal ini bisa dikaitkan dengan sebuah pertanyaan lama yang mungkin kedengarannya sudah basi di kalangan mahasiswa yaitu “Kenapa kita harus berorganisasi?”. Jawaban yang keluar mungkin berbeda-beda sesuai dengan redaksi jawaban dari yang ditanya, namun intinya yang harus kita ketahui adalah bahwa organisasi adalah tempat pengembangan diri mahasiswa yang secara psikologi telah memasuki taraf kedewasaan. Dalam fase ini, seorang mahasiswa membutuhkan semacam “simulasi kehidupan” untuk menghadapi kehidupan nyata di luar, tempat dimana mahasiswa dapat mengimplementasikan apa yang mereka dapatkan di bangku pendidikan kedalam objek nyata di kehidupan mereka, dan lain-lain sebagainya.

Permasalahan yang muncul dan menjadi alasan umum dari banyak mahasiswa untuk malas berorganisasi adalah sulitnya seorang mahasiswa aktivis organisasi dalam membagi waktu antara kuliah dan organisasi. Hal ini memang menjadi masalah ketika kita harus memilih salah satu dari keduanya. Akan tetapi jika sedikit mengubah pola berpikir kita maka bukan menjadi masalah lagi ketika kita mengambil semuanya. Ingat bahwa dalam bergoranisasi kita harus bisa memanajemen waktu yang kita punya. Semua orang punya waktu yang sama 24 jam dalam satu hari, entah dia seorang peneliti, dosen, mahasiswa, atau cleaning service. Yang perlu dilakukan adalah bagaimana kita membagi prioritas kegiatan yang mesti kita lakukan. Banyak mahasiswa aktivis organisasi yang lebih memilih organisasi daripada kuliah karena jadwal yang bersamaan sehingga kuliah mereka tidak terurus. Namun akan berbeda ceritanya ketika kita bisa mengatur jadwal tersebut. Memang kita tidak bisa menghadiri dua kegiatan yang bersamaan dalam satu waktu, tapi kita harus menentukan prioritas mana yang lebih mendesak untuk dilakukan. Serta merencanakan rencana kegiatan berikutnya untuk menggantikan kegiatan yang tidak kita hadiri.

Hal penting lainnya adalah tetap berkomunikasi dan jangan menunda pekerjaan. Ketika kita memilih prioritas kegiatan yang harus dikerjakan maka tentu kita juga harus punya rencana terhadap kegiatan yang tidak kita hadiri. Tetap menjaga komunikasi agar kita bisa memperoleh informasi dari kegiatan-kegiatan yang memang harus kita lakukan walaupun kita tidak bisa mengerjakan semuanya secara bersamaan. Menunda pekerjaan adalah kebiasaan buruk dan tidak bertanggungjawab yang menyebabkan kita kerap terjebak pada kegiatan-kegiatan yang awalnya tidak mendesak tapi tiba-tiba semua pekerjaan sampai pada deadline-nya. Padahal jika kita terbiasa mencicil pekerjaan-pekerjaan yang diamanahkan atau dibebankan pada kita, tidak akan berakhir sedemikian naasnya.

Biasakanlah setiap hari untuk merencanakan kegiatan yang akan kita lakukan, namun tidak harus kaku untuk tidak mengerjakan hal-hal yang tidak kita rencanakan. Ukurlah sejauh mana prioritas sebuah pekerjaan yang harus kita kerjakan. Meski terasa berat di awal, namun kamu bakal memetik hasil yang menyenangkan di bagian akhir dalam hidup kita.
So, what is mean. It’s mean you can do your study while you an activist.

*Mahasiswa Jurusan Keuangan Islam
Sedang mengembankan karirnya di Ashram Bangsa

Sabtu, 29 Januari 2011

Akselerasi Student Goverment Menuju Good Governance

Mahasiswa adalah kalangan yang memiliki potensi besar melakukan mobilitas. Bahkan, hal itu sudah dilakukan semenjak mereka resmi memiliki status sebagai mahasiswa, karena status itu termasuk kelas menengah. Ke depan, selepas menyelesaikan proses pembelajaran dan pencarian jati diri mereka di kampus, pintu melakukan mobilitas itu semakin terbuka. Mobilitas secara vertikal maupun horizontal, menuju ke posisi strategis di berbagai sektor yang akan mereka geluti, baik public sector, private sector atau third sector.

Kampus sebagai ruang mahasiswa dalam bentuk kegiatan akademik juga sering kali menuai berbagai macam interpretasi yang berbeda-beda dalam bentuk aplikasi internal maupun eksternal dikalangan mahasiswa itu sendiri. Ruang yang seharusnya dapat dijadikan wadah dalam pengembangan potensi dan tentunya dalam kancah pengembangan intelektual ternyata luput dari harapan banyak kalangan. Berbagai metodologi dan sistem akademik telah dilakukan untuk membenahi permasalahan di atas.

Format gerakan mahasiswa ke depan adalah gerakan massa dan gerakan intelektual (Intellectual Movement). Sebuah gerakan massa hanya akan menjadi retorika ketika mahasiwa tidak mengolah budaya ilmiah dalam mengapresiasikan pemikiran dan idiealismenya. Budaya ilmiah akan dapat dilakukan dengan gerakan intelektual (Intellectual Movement). Pada saat ini para aktivis pergerakan mahasiswa semakin sadar perlu mengedepankan nuansa intelektual ketika bergerak dalam menuntaskan perubahan.

Kedua adalah membudayakan Tradisi Menulis (writing Tradition). Aktifitas menulis merupakan salah satu gerbang menuju tradisi intelektual bagi gerakan mahasiswa. Kita dapat belajar dari tokoh dan intelektual bangsa Indonesia, yang bernotabene mantan tokoh aktivis pemuda dan mahasiswa, banyak melemparkan gagasan atau ide-ide cemerlang, kriktikan tajam dan membangun wacana dalam bentuk tulisan. Seperti Bung Karno, Bung Hatta, M. Natsir- era pra kemerdekaan; Amien Rais, Abdurrahman Wahid, Nurcholis Majid, Arif Budiman era 60 sampai 80-an; Andi Rahmat, Eef Saiful fatah, Kamaruddin (era 90-an) dan masih banyak lagi. Sehingga tidak berlebihan kemudian keberadaan kampus dianalogikan sebagai miniatur dari sebuah Negara, dimana seluruh bentuk aktivitas dan sistem yang berjalan didalam kampus merefleksikan aktivitas layaknya sebuah Negara.

Sebagai wadah dalam menyalurkan gerakan mahasiswa seperti yang disebutkan diatas maka Lembaga Kemahasiswaan yang berada dibawah naungan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta harus dibentuk. Hal ini sangat diperlukan dalam melegalkan bentuk gerakan mahasiswa sehinga tidak terkesan asal-asalan. Pembentukan Lembaga kemahasiswaan ini harus melalui proses demokratisasi lewat PEMILWA (Pemilihan Umum Mahasiswa) dimana kesemua jajaran birokrasi lembaga kemahasiswaan tersebut dipilih secara langsung oleh seluruh mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum.

Dalam konteks Fakultas Syariah dan Hukum Lembaga Kemahasiswaan memilki fungsi yang strategis untuk melakukan terobosan baru dalam memajukan Fakultas Syariah dan Hukum. Disamping juga mempunyai akses yang sangat mudah dengan pihak birokrasi Fakultas di satu sisi dan merupakan manifestasi aspirasi mahasiswa di sisi lain. Artinya lembaga kemahasiswaan tersebut dituntut penuh untuk selalu mengawasi dan mengoreksi segala bentuk kebijakan birokrasi yang sama sekali tidak memihak pada kepentingan banyak mahasiswa dan selanjutkatnya memberikan solusi atas ketimpangan kebijakan yang ada. Pikiran-pikiran jernih dan orisinil yang berorientasi bagi pengembangan dan kemajuan Fakultas Syariah dan Hukum harus disuarakan secara lantang tanpa adanya intervensi dan koptasi dari pihak manapun. Dengan demikian keberadaan lembaga kemahasiswaan yang nota bene sebaga wadah menyambung suara aspirasi mahasiswa benar-benar hidup dan menghidupi semua kepentingan yang ada dikalangan mahasiswa pada umumnya.

Melalui kebijakan-kebijakan tersebut, diharapkan lembaga kemahasiswaan Fakultas Syariah dan Hukum akan semakin mendapatkan angin segar bagi perubahan masa depan Fakultas. Tentunya dengan selalu membangun sinergitas komunikasi lintas elemen yang ada di lingkungan Fakultas itu sendiri, namun pada saat yang bersamaan tanpa harus melupakan perbaikan-perbaikan dalam membangun fondasi bangunan wilayah internal dan ekternal pengurus sekaligus. Maka harapan untuk mewujudkan lembaga kemahasiswaan yang Good Governance benar-benar nyata kehadirannya dan membumi. Amin!

Rabu, 19 Januari 2011

Sinergisitas Pajak dan Zakat
Oleh. Maksum Muktie*

Secara kasar, zakat jika dilihat sebagai insentif pajak tentu akan berdampak pada pertentangan konseptual, yang mungkin tak akan pernah selesai. Terdapat beberapa tokoh mempunyai pendapat berbeda mengenai masalah pajak dan zakat. Menurut Masdar Farid Masudi pajak itu sendiri merupakan zakat. Artinya jika seseorang sudah membayar pajak, berarti ia sudah membayar zakat karena zakat adalah landasan teorinya sedangkan pajak merupakan praktik dari zakat tersebut. Gusfahmi (2007) memetakan beberapa ulama yang mempunyai pendapat berbeda mengenai masalah pajak dan zakat ini. Pertama adalah Dr.Yusuf Qardawi dengan pendapatnya bahwa “zakat adalah kewajiban agama dan pajak adalah kewajiban terhadap negara”. Kedua, Dr. Hasan Turobi, Sudan dengan pendapatnya bahwa pajak tidak wajib bahkan haram. Pendapat ketiga adalah pendapat yang menyamakan pajak dengan zakat yaitu Masdar F. Masudi yang mengatakan bahwa zakat adalah roh dan pajak adalah badannya.

Akan tetapi objektif pajak sendiri pada saat ini, terlihat berbeda dengan orientasi zakat. Zakat dengan sangat jelas ditujukan bagi orang-orang yang dikategorikan lemah (dhuafa’). Baik lemah dalam hal ekonomi (fakir, miskin), sosial (muallaf, ibn sabil), maupun politik (gharim, riqab, fii sabilillah). Pemanfaatan zakat diluar kategori tersebut jelas-jelas tertolak.
Sedangkan pajak itu sendiri, 78% hasilnya digunakan untuk kepentingan Negara yang jauh dari pemberantasan kemiskinan. Pajak yang merupakan penyumbang terbanyak untuk APBN sehingga pemerintah sangat menjaga sumber pendapatan ini. Oleh karena itu, segala hal yang berkaitan dengan penerimaan pajak sangat sulit untuk dirubah. Seperti wacana tentang zakat yang mengurangi pembayaran pajak yang secara otomatis jika diterapkan akan mengurangi pemasukan pemerintah dari sector pajak. Wacana ini berkembang karena kekecewaan masyarakat kepada pemerintah yang belum bisa memberantas kemiskinan dan tidak upaya nyata pemerintah yang langsung berhubunga dengan rakyat miskin.

Malaysia merupakan contoh menarik dari kebijakan sinergis antara zakat dan pajak. Pengelolaan zakat sejak awal memang sudah dilaksanakan oleh aparatur negara. Namun, baru pada tahun 2004, pengelolaan zakat resmi berada dalam Departemen Zakat, Wakaf, dan Haji (JAWHAR). Departemen ini secara langsung bertanggung jawab kepada perdana menteri.

Dalam sistemnya, Setiap negara bagian memiliki Pusat Pungutan Zakat (PPZ). Lembaga ini melakukan penyuluhan intensif kepada masyarakat tentang kewajiban zakat. PPZ merupakan unit teknis pengelola zakat yang berperan dalam menghimpun dan mendayagunakan zakat pada setiap negara bagian. Di samping pelaksanaan penyuluhan zakat, keberadaan zakat sebagai insentif pajak berhasil mendorong pertumbuhan angka penghimpunan zakat. Model ini mengintegrasikan zakat dengan sistem perpajakan nasional. Sistem ini memungkinkan adanya pertukaran informasi antar institusi pengelola pajak dengan pengelola zakat.

Pola sinergi zakat dan pajak tersebut memudahkan pemerintah mendeteksi siapa yang tidak membayar zakat dan siapa yang tidak membayar pajak. Karenanya, dengan kebijakan tersebut, secara tidak langsung, penghimpunan pajak juga mengalami peningkatan, dengan tax ratio diperkirakan mencapai 20,2 persen.

Irfan Syauqi Beik mengatakan, ketika zakat menjadi pengurang pajak maka akan ada insentif dalam meningkatkan zakat sehingga ada proporsi yang pasti dalam pembagian zakat, yaitu kepada kaum dhuafa. Ia mengatakan, zakat memiliki peran dalam perekonomian, di antaranya sebagai alat redistribusi pendapatan dan kekayaan serta sebagai instrumen pengentasan dan pemberdayaan dhuafa.

Keseriusan Pemerintah
Jika diperhatikan dengan lebih seksama, penerapan zakat sebagai insentif pajak di Malaysia berhasil meningkatkan pendapatan dan penerimaan Negara dari pajak. hal ini tentu menjadi pembelajaran kepada pemerintah Indonesia untuk mengembangkan keefektifan dalam pengelolaan zakat dan pajak.

Setidaknya ada beberapa hal yang dapat menjadi keuntungan pemerintah jika berhasil mengembangkan model sinergisitas antara pajak dan zakat yaitu, pertama, dengan pemungutan pajak dan zakat yang bersamaan akan membuat masyarakat sadar pentingnya pajak dan zakat kepada pemerintah. akantetapi hal ini perlu penyulahan terlebih dahulu bahwa pajak akan digunakan untuk kepentingan Negara dan Zakat akan sepenuhnya untuk pemberantasan kemiskinan. Kedua, pemerintah tidak perlu lagi menganggarkan program pemberantasan kemiskinan dengan memotong pajak, akan tetapi dengan masuknya zakat sebagai penerimaan pemerintah dengan sendirinya hal itu akan mengganti program tersebut. Ketiga, kepercayaan masyarakat akan pentingnya zakat akan semakin besar sehinga nantinya juga meningkatkan pembayaran pajak.

Model seperti inilah yang ke depannya perlu dikembangkan di Indonesia. Ada sinergi positif antar institusi, bukan ego sektoral yang menyekat. Dalam hal ini, kerja sama antara institiusi pajak dan pengelola zakat dalam menciptakan sistem pengelolaan zakat yang lebih baik akan tercapai sehingga pengentasan kemiskinan di Indonesia dapat berjalan.

*Mahasiswa Keuangan Islam
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta